Kamis, 25 Desember 2008

IE KUPI MANGAT THAT RASA



TAU GAK SIH ???


http://ladangkata.com/2008/01/21/secangkir-kopi-sejuta-cerita-aceh-ulee-kareng/


Secangkir Kopi Sejuta Cerita Aceh: Ulee Kareng


Posted by Lisa Febriyanti on Jan 21, 2008 in ladang pelesir

Kopi Aceh punya cerita tersendiri bagi saya. Bukan hanya sesapan kesegaran rasanya namun juga budaya kopi di sebuah ibukota propinsi ujung Barat Sumatera ini memiliki nuansa sedikit berbeda. Di tiap cangkirnya ada sejuta kisah unik.

Awal tahun lalu, saya berkesempatan untuk menjejakkan kaki di Banda Aceh. Sebenarnya kunjungan ini adalah dalam rangka tugas pembuatan video profile potensi wilayah Nanggroe Aceh Darusalam yang terus berekonstruksi dan berekonsiliasi. Putar-putar Banda Aceh yang saat itu sudah mulai ramai, menampakkan beberapa pemandangan yang menarik bagi saya. Yaitu maraknya warung kopi. Bukan hal yang aneh memang jika hanya warung kopi biasa, tapi warung kopi di Banda Aceh bukan berbentuk warung kopi seperti di Jawa pada umumnya.


Di Banda Aceh, yang disebut warung kopi bentuknya hampir sama seperti restaurant. Bukan duduk di bangku kayu, melainkan di kursi plastik dengan sandaran yang memungkinkan orang yang menduduki bersandar dengan santainya. Kursinya pendek, tempat dudukannya sejajar dengan meja. Jadilah para penikmat kopi itu makin nikmat meneguk minuman pahit itu.

Namun, salah satu warung kopi yang paling populer seantero Aceh, bahkan mungkin sudah menggema di hati para pengunjung yang pernah ke Aceh adalah kopi Ulee Kareng. Di warung kopi ini, rasanya tak pernah sepi pengunjung. Bahkan di jam kantor pun, masih juga para pekerja melewatkan waktunya di sini. Tapi kebanyakan pengunjungnya adalah laki-laki. Bahkan tak jarang saya menjadi satu-satunya perempuan di sebuah warung kopi.

Hmm…rupanya, bagi masyakat Aceh, ngopi adalah salah satu budaya untuk bersosialisasi. Mereka gemar berkumpul bersama dan aktivitas yang dilakukan adalah ngopi. Yah, maklum saja, provinsi ini menerapkan hukum syariat Islam, jadi tempat hiburan malam pun tak banyak di sana. Jadilah warung-warung kopi itu menjadi wadah untuk ajang temu dengan kawan, relasi bahkan kumpul keluarga.

Jika diajak ngopi di Aceh, jangan pula samakan dengan kita nongkrong di cafe seperti di Jakarta atau kota besar lainnya. Yang ada hanyalah sebuah ruang makan sederhana, namun penuh keriuhan.

Sambil menikmati kopi, di meja akan disuguhi beberapa jenis kudapan khas Aceh yang semua rasanya manis. Rupanya rasa ini menjadi favorit di sini. Kopinya sendiri, kebanyakan hadir dalam gelas kecil. Meskipun begitu, rasanya pas dan tidak terlalu pahit seperti espresso.

Bagi saya yang agak rentan dengan kopi, awalnya agak ragu meminumnya. Tubuh saya memang kurang bersahabat dengan kopi. Selalu menimbulkan reaksi yang kurang menyenangkan. Tetapi dengan kopi Aceh, reaksi yang saya dapatkan justru makin terasa bugar. Hampir satu minggu saya di sana, justru saya yang mengajak rombongan untuk ngopi dulu sebelum memulai pekerjaan.

Saat berbincang dengan pemilik warung, kopi Aceh terbuat dari kopi Robusta dan dicampur dengan sedikit mentega saat prosesnya. Dan untuk mendapatkan rasa yang khas, penyajiannya pun berbeda. Kebanyakan kopi Aceh diseduh langsung dalam air yang dipanaskan, kemudian dituang dalam gelas. Ini yang membuat ampas kopi seringkali tak ikut dalam gelas. Namun, sang pemilik juga memberikan sebuah trik menarik dalam untuk mendapatkan rasa kopi seutuhnya.

Pertama, taruh kopi secukupnya dalam gelas kecil, lalu tuangkan air yang mendidih (air harus benar-benar mendidih). Setelah itu, tutup gelas kopi dengan tatakan atau apapun yang menutup seluruh pinggiran gelas agar uapnya tidak keluar. Karena justru uap itu lah yang memberikan aroma memikat dan mempertahankan rasa kopinya. Biarkan selama tiga sampai lima menit, lalu baru diminum. Hmmm, memang beda sih rasanya.

Tips ini diberikan pada saya karena saya memborong tiga kilo kopi untuk saya pulang sebagai oleh-oleh ke kawan dan keluarga.

KOPI ULEE KARENG




MASIH berada di kompleks pasar Ulee Kareng, Banda Aceh, bertebaran kedai-kedai kopi. Salah satunya kedai kopi itu membawa bendera "Kopi Solong Ulee Kareng Jasa Ayah".


Memasuki kedai ini terlihat puluhan orang santai, ngobrol ke sana kemari. Belasan meja yang ada di kedai itu telah dipenuhi pengunjung. Semuanya memiliki satu tujuan: ngopi!

Terlihat hanya secangkir kopi dan segelintir kue yang menemani mereka. Namun pengunjung terus mengalir seolah tanpa henti. Santai di kedai kopi sambil mengisap rokok dalam-dalam, ciri khas yang tak lepas dari sebuah kedai.

Entah apa yang mereka diskusikan di meja kopi itu, mungkin soal bagaimana me-recovery Aceh pascabencana, mungkin juga soal pengalaman para relawan yang baru pertama kali mengevakuasi mayat, bisa juga soal sepele masalah pribadi. Semua bisa diobrolkan di arena demokratis ini.

Suasana kedai itu begitu ramai, seolah tak terjadi apa-apa di Banda Aceh. Dengan Rp 1.500 per cangkir, semua bisa kembali ke kedai kopi, bergembira sambil berjumpa kawan yang ternyata masih selamat dari bencana tsunami.

Persepsi bahwa Banda Aceh menjadi kota mati, lambat laun beranjak pulih. Banda Aceh, melalui kedai-kedai kopi khasnya, mulai menggeliat dan itu berarti pertanda kehidupan mulai normal. Begitu kira-kira analisis situasi saat ini.

Para pegawai kedai mulai disibukkan dengan pesanan pelanggan. Bahkan menurut mereka pascabencana ini suasana kedai semakin ramai. "Sekarang banyak pendatang terutama dari para relawan," kata Lemi, penjaga kedai.

Kopi solong di pojok pasar Ulee Kareng itu kini kembali hidup dan menjadi bagian dari denyut nadi Aceh. Dibalik kepulan asap kopi solong yang aromanya menggoda selera itu terbayang harapan hidup pencinta kopi, tergambar pula bangkitnya ekonomi kerakyatan pembuatan kopi.

ADALAH keluarga Haji Muhammad Kasaman yang merintis kedai kopi "Jasa Ayah" itu sejak zaman pendudukan Jepang. Kini usaha itu ditangani anak-anak Kasaman, di antaranya Haji Nawawi sebagai manajer kedai dan Hasballah sebagai manajer produksi.

Kopi solong berasal dari biji kopi jenis robusta yang didatangkan dari Lamno Aceh Jaya. Kompas sempat menyaksikan pembuatan kopi solong yang ter masyhur itu. Pembuatan kopi di pabriknya itu bukan dilakukan puluhan atau ratusan pegawai dengan seperangkat mesin-mesin penumbuknya.

"Hanya saya yang membuatnya dengan dibantu seorang pegawai," kata Hasballah yang ditemani pegawainya, Ilham. Bisnis selera memang tidak bisa sembarangan diserahkan kepada orang lain.

"Saya harus menjaga kualitas kopi solong agar para pelanggan tidak protes, sedikit saja saya salah memprosesnya pelanggan pasti protes," kata Hasballah. Hasballah sadar, bisnis kedai sangat bergantung pada keahlian membuat kopi.

Karena itu, sejak meracik "bumbu" kopi, menuangkan kopi mentah ke dalam molen penggorengan, mengeluarkan kopi masak dari molen, dan kemudian mengangin-anginkan kopi matang yang masih panas, semua dikontrol penuh.

Hasballah membeberkan salah satu rahasia bumbu kopi solong, yaitu dengan menambahkannya tiga kilogram gula pasir dan satu kilogram mentega dalam 40 kilogram kopi mentah.

Hanya itu saja bumbunya? "Sumpah hanya itu saja, dijamin 100 persen murni kopi dan tidak ada daun ganja di dalamnya ha-ha-ha," kata Hasballah sambil tertawa lebar.

Inti rasa dari kopi solong bukanlah pada campurannya tapi lebih pada ketepatan menggoreng. "Menggoreng itu tidak mudah, butuh kesabaran dan ketekunan. Jika tak sabar kopi akan gosong dan tidak enak diminum," kata Hasballah.

Karena itu, Hasballah mengaku hanya bekerja ketika kondisi badan sedang sehat. "Kalau saya merasa malas atau badan kurang sehat saya memilih istirahat saja demi menjaga kualitas kopi solong," katanya.

Tiap hari Hasballah harus bangun pagi untuk menggoreng kopi. Dalam dua hari sekali, Hasballah harus bekerja untuk menghasilkan sekitar 250 kilogram kopi masak yang dibuatnya dalam empat kali masak.

Namun, pascatsunami ini justru permintaan meningkat. Hasballah harus bekerja tiap hari untuk memenuhi permintaan. "Sekarang ini dalam sehari kedai kami bisa menjual sampai 3.000 gelas, hari normal hanya 2.000 sampai 2.500 gelas," kata Lemi, penjaga kedai yang juga cucu pendiri kedai.

Jumlah itu hanya dari penjualan per gelas yang dijual Rp 1.500 per gelasnya, belum lagi penjualan bubuk kopi jadi yang dijual Rp 32.000 per kilogram. "Kami hanya menjual bubuk kopi kepada pelanggan sebagai oleh-oleh, kami tidak menjual bubuk kopi ini ke warung atau ke kedai lain," kata Hasballah.

Tiap hari kedai itu bisa menjual hingga 50 kilogram bubuk kopi kepada pelanggan. Hasballah mengakui, justru pascabencana itu para penikmat kopi semakin bertambah banyak terutama dengan banyaknya relawan yang datang ke Aceh.

"Kami memang kehilangan ratusan pelanggan setia akibat tsunami, tapi sekarang kedai kami kembali ramai karena banyak tamu dari luar," kata Lemi. Di balik setiap musibah, selalu saja ada hikmah dan kopi solong telah siap menemani bangkitnya Aceh pascatsunami. Tapi dengan syarat, usai puas ngopi, mari bersama-sama membersihkan puing tsunami itu